PENDIDIKAN, POLITIK, DAN UANG DI TAHUN POLITIK
DR. Muhammad Tang, M.Pd
Wakil Ketua I STAI Al-Furqan Makassar
Berbicara tentang pendidikan, politik dan uang (kemampuan finansial) secara sederhana dapat diibaratkan serperti cahaya, lampu (balon) dan aliran listrik. Pendidikan merupakan cahyanya, politik merupakan balon/lampunya (sebagai penampung cahaya=sebagai penampung aspirasi rakyat) dan aliran listriknya adalah uang (kemampuan finansial) semakin tinggi aliran listriknya, dan semakin besar kapasitas balonnya, maka semakin terang cahayanya.
Filsuf Yunani kono, 600 tahun sebelum masehi memaknai pendidikan sebagai “usaha untuk membantu manusia menjadi manusia”.(Tafsir, 2006: 33). Pengertian ini, memiliki makna filosofis yang sangat dalam; pertama, bahwa manusia yang diciptakan oleh Tuhan perlu proses untuk menjadi manusia seutuhnya, yaitu lewat pproses pendidikan; kedua, esensi pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisme);
Lalu…seperti apa kreteria manusia yang menjadi tujuan dari pendidikan? Dalam hal ini, tentu akan kembali kepada falsafah hidup masing-masing dalam menginterpretasikan dan menetapkan kriteria tersebut. Namun, dalam tulisan ini akan menghadirkan konsep filsuf orang-orang Yunani kuno yang masih relevan dalam konteks kebangsaan zaman now, dan akan mendialogkannya dengan teori pendidikan modern.
Perspektif filsuf Yunani kuno, bahwa kreteria atau syarat untuk disebut sebagai manusia adalah, yaitu; pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri; kedua, cinta tanah air, dan ketiga, berpengetahuan. (Ahmad Tafsir, 2006: 33).
Pertama, dalam konteks di tahun politik ini; kemampuan dalam mengendalikan diri sangat dibutuhkan. Misalnya, kemampuan mengendalikan diri agar tidak mengambil dan merampas hak orang lain, kemampuan mengendalikan diri agar tidak membuat dan menyebarkan berita hoax, kemampuan mengendalikan diri agar tidak melakukan ujaran kebencian (hate speech), kemampuan mengendalikan diri agar tidak melakuan black campaign, dan hal-hal negatif lainnya yang bisa memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Begitu pentingnya, tentang kemampuan pengedalian diri, sehingga Tuhan Sang pencipta manusia yang Maha tahu tentang manusia; menurunkan suatu instrumen untuk umat manusia, yaitu; puasa. Inti puasa adalah untuk membangun kemampuan dalam mengendalikan diri. Kemampuan mengendalikan diri, bukan hanya kepada hal-hal yang bersifat negatif yang telah disebutkan di atas, akan tetapi tetap konsisten (istiqamah) berjalan di atas norma agama, masyarakat, dan norma hukum yang telah ditetapkan oleh negara adalah bagian inheren dari kemampuan mengendalikan diri.
Kedua, cinta tanah air; salah seorang pahlawan nasional dan tokoh pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH. Hasyim Ashari mengeluarkan suatu fatwa bahwa “cinta negara adalah bagian dari iman”. Hal ini menunjukkan bahwa kecintaan kepada tanah air merupakan suatu hal yang sangat esensi yang harus dimiliki oleh anak bangsa. Para pahlawan kita mengorbankan jiwa, raga dan hartanya, karena cintanya kepada tanah air dan bangsanya dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan.
Tentunya, sebagai anak bangsa zaman now, sebagai wujud kecintaan kepada tanah air adalah dengan mengisi dan membangunnya. Spirit perjuangan para pahlawan kita perlu ditanamkan dalam jiwa; bahwa mereka rela mengorbankan jiwa, raga dan hartanya demi cintanya kepada tanah air dan bangsa. Tapi, tidak malahan sebaliknya berpikir; maafaat apa yang saya bisa raih “nikmati” dari negara ini.
Ketiga, berpengetahuan; bangsa yang maju adalah bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. “Barang siapa yang inigin menggenggam atau menguasai dunia ini hendaklah ia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi…” , kata Imam Syafi’i yang diikuti oleh Francis Bacon. Ungkapan ini telah terbukti sekarang ini, negara-negara yang menguasai atau yang maju ilmu pengetahuan dan teknologinya, dialah yang mengusai atau mengendalikan dunia sekarang ini (Cina, Jepang, Amerika, Jerman, Inggris dan negara Eropa lainnya).
Kemudian, kita kembali menilik bagaimana realitas pendidikan yang telah mencetak para pengelola negara sekarang ini. Pendidikan tidak lepas kepada fitrah manusia sebagai subyek sekaligus obyek pendidikan. Dalam fitrah manusia ada tiga yang harus dikembangkan, yaitu; jiwa, akal, dan jasmani. Senada dalam teori Bloom (1956) ada tiga rana yang harus dikembangkan dalam pendidikan, yaitu; rana afektif, kognitif, dan psikomotorik.
Apabila kita menelaah kurikulum pendidikan sejak kurikulum 1947(leer plan/rencana pelajaran) sampai pada kurikulum 2004 (KBK) lebih banyak menekankan kepada aspek kognitifnya (kecerdasan intelektual), tapi tidak seiring dengan pengembangan rana afektif/moral dan rana psikomotorik. Sehingga anak bangsa yang lahir dari perodak pendidikan tersebut adalah anak bangsa yang cerdas secara intelektual, tapi memiliki integritas yang rapuh dan kurang menghasilkan alat teknologi.
Idealnya pendidikan adalah pendidikan yang berusaha mengembangkan tiga potensi yang ada dalam diri manusia, yaitu; potensi jiwa (apektif/moral), potensi akal (kognitif), potensi jasmani (psikomotorik/skill). Hal inilah yang diusahakan pemerintah dengan lahirnya KTSP 2006, dan dikembangkan pada kurikulum 2013 (K.13) untuk mengintegrasikan ketiga rana tersebut. Lahirnya kebijakan pendidikan, tidak lepas kepada peran politik di dalamnya.
Selanjutnya, tentang politik; membahas tentang politik di tahun politik ini, merupakan suatu hal yang sangat seksi dan menarik. Oleh karena, setiap saat, setiap detiknya tidak lepas dari pembicaraan di media; baik di media elektronik maupun di media sosial. Karena asiknya membicarakan tentang politik, sehingga terkadang kita lupa dari esensi dan tujuan lahirnya politik itu sendiri.
Secara filosofis, lahirnya politik adalah untuk membangun peradaban (kota) manusia. Hal inilah yang perlu disadari oleh anak bangsa, terutama yang turun di gelanggang panggung politik. Bahwa mereka esensinya adalah para pejuang untuk membangun peradaban bangsa ini. Alangka naifnya, jika pejuang peradaban “politisi” bangsa ini tidak memiliki karakter dan integritas yang tinggi.
Membangun karakter dan integritas yang tinggi dibutuhkan pendidikan yang bermutu; pendidikan yang bermutu sekarang ini identik dengan pendidikan yang mahal. Beitupun dengan politik, membutuhkan dukungan uang (kemampuan finansial) yang besar. Selama biaya politik itu mahal, maka selama itu terjadi politik transaksional yang menyebabkan lambatnya membangun peradaban bangsa.